بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Dalam ajaran Islam, setiap ucapan dan perbuatan dianjurkan untuk diawali dengan menyebut nama Allah sebagai bentuk ketundukan dan pengharapan atas keberkahan serta perlindungan dari-Nya. Salah satu lafazh yang paling sering digunakan oleh umat Muslim dalam kehidupan sehari-hari adalah Basmalah, yakni ucapan “Bismillahirrahmanirrahim” yang berarti “Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang.” Basmalah bukan sekadar rangkaian kata, melainkan simbol dari sikap spiritual yang mendalam, yang mengingatkan manusia akan pentingnya memulai segala sesuatu dengan niat yang baik dan bergantung penuh kepada Allah. Dalam Al-Qur’an, Basmalah muncul sebagai pembuka hampir setiap surah, menandakan kedudukannya yang istimewa dalam teks suci Islam. Lebih dari itu, basmalah juga menjadi bagian dari tradisi dan budaya umat Muslim di seluruh dunia, diucapkan sebelum melakukan berbagai aktivitas mulai dari hal kecil seperti makan dan minum, hingga hal besar seperti memulai pekerjaan atau perjalanan. Oleh karena itu, dalam makalah ini akan dibahas secara lebih mendalam mengenai makna, keutamaan, serta penerapan lafazh Basmalah dalam kehidupan sehari-hari, guna memperkuat pemahaman dan penghayatan terhadap salah satu lafazh mulia dalam Islam ini.
Dalil dianjurkannya membaca basmalah
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
كُلُّ كَلَامٍ أَوْ أَمْرٍ ذِي بَالٍ لَا يُفْتَحُ بِذِكْرِ اللهِ فَهُوَ أَبْتَرُ – أَوْ قَالَ : أَقْطَعُ
Artinya, “Setiap perkataan atau perkara penting yang tidak dibuka dengan dzikir pada Allah, maka terputus berkahnya.” (HR. Ahmad)
Sebagian ulama mendhaifkan hadits di atas, seperti Az-Zayla’i dan Syaikh Al-Albani dalam Irwa’ Al-Ghalil. Sekelompok ulama ada yang menghasankan dan menshahihkan, diantara yang menyatakan hasan adalah Imam Nawawi dan Ibnu Hajar. Sedangkan Ibnu Daqiq Al-‘Ied dan Ibnul Mulaqqin menyatakan bahwa hadits tersebut shahih.[1]
Apakah basmalah bagian dari surah Al-Fatihah?
Para ulama berbeda pendapat apakah basmalah termasuk ayat dari surah al- Faatihah dan surah-surah lain atau bukan?
Di sini ada tiga pendapat. Mazhab Maliki dan Hanafi berpendapat bahwa basmalah bukan ayat dari surah al-Faatihah maupun surah-surah lainnya, kecuali surah An-Naml di bagian tengahnya. Dalilnya adalah hadits Anas Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: ‘Aku dulu menunaikan shalat bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, Abu Bakar; Umar, serta Utsman, dan tak pernah kudengar salah satu dari mereka membaca bismillaahir-rahmaanir-rahiim.” Artinya, penduduk Madinah dulu tidak membaca basmalah dalam shalat mereka di Masjid Nabawi.
Hanya saja mazhab Hanafi berkata: Orang yang shalat sendirian hendaknya membaca bismillaahir-rahmaanir-rahiim ketika mulai membaca surah Al-Faatihah, dalam setiap rakaat, dengan suara samar. Jadi, ia termasuk Al-Qur’an, tetapi bukan bagian dari surah, melainkan berfungsi sebagai pemisah antara tiap surah.
Sementara itu mazhab Maliki berkata: Basmalah tidak boleh dibaca dalam shalat wajib, baik yang bacaannya keras maupun yang bacaannya samar baik dalam surah Al-Faatihah maupun surah-surah lainnya; tetapi ia boleh dibaca dalam shalat sunnah. Al-Qurthubi berkata: “Yang benar di antara pendapat-pendapat ini adalah pendapat Malik sebab Al-Qur’an tidak dapat ditetapkan dengan hadits ahad; cara menetapkan Al-Qur’an hanyalah dengan hadits mutawatir yang tidak diperdebatkan oleh para ulama.” Namun pernyataan ini kurang tepat sebab mutawatir-nya setiap ayat bukanlah suatu keharusan.
Abdullah ibnul-Mubarak berpendapat bahwa basmalah adalah ayat dari setiap surah, dengan dalil hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari Anas, ia berkata: Pada suatu hari, tatkala Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam sedang berada bersama kami, beliau tertidur sekejap lalu mengangkat kepalanya sembari tersenyum. Kami pun bertanya, “Mengapa Anda tertawa, wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Baru saja diturunkan sebuah surah kepadaku.” Lalu beliau membaca, ” Bismillaahir-rahmaanir-rahiim (Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pernurah lagi Maha Penyayang). Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkorbanlah. Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus.” (QS. Al-Kautsar: l -3)
Adapun mazhab Syafi’i dan Hambali berkata: Basmalah adalah ayat dari al-Faatihah, harus dibaca dalam shalat. Hanya saja mazhab Hambali, seperti mazhab Hanafi, berkata: Ia dibaca dengan suara samar, tidak dengan suara keras. Sedangkan mazhab Syafi’i berkata: Ia dibaca dengan suara samar dalam shalat yang bacaannya samar, dan dibaca dengan suara keras dalam shalat yang bacaannya keras; dan ia pun dibaca dengan suara keras dalam selain surah al-Faatihah.[2]
Mengapa Surah Bara’ah tidak diawali dengan Basmalah?
Nampaknya surah Baraah memiliki ciri khas khusus di bandingkan dengan surah lainnya. Pada mulanya, setiap kali pembukaan awal surah, Al-Qur’an tidak pernah absen dengan menyebut nama Allah yang diwujudkan dalam bentuk basmalah, tapi kebiasaan ini tidak berlaku dalam surah tersebut. Meski demikian tidak bisa dipungkiri bahwa kejanggalan ini membuat surah Bara’ah memiliki nila tersendiri dari pembacanya.
Banyak versi yang menyebutkan alasan tidak dicantunkannya basamalah pada Surah Baraah. Kurang lebih ada sekitar enam riwayat yang mencoba menjelaskannya. Riwayat pertama menyatakan, penyebabnya -sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh Ibn Abbas dari sahabat- Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tidak pernah menjelaskan tentang seluk-beluk surah At-Taubah dan kandungan ayatnya pun hampir sama dengan isi ayat yang terdapat pada surah al-Anfal sehingga para sahabat menggabungkan kedua surah tersebut dan tidak memisahkannya dengan basmalah. Pendapat ini dipilih oleh At-Thahawiy dan dianggap sahih oleh Ibnul ‘Arabi.
Riwayat kedua menyebutkan bahwa kosongnya Surah Bara’ah dari basamalah tidak lepas dari adat istiadat orang Arab waktu itu, di mana ketika mereka membuat suatu perjanjian dan hendak membatalkannya, maka semua itu dilakukan dalam bentuk tulisan tanpa mencatumkan lafazh basmalah terlebih dahulu. Menurut mereka, surah Bara’ah turun bertepatan saat pembatalan perjanjian yang dilakukan Rasulullah dan para kaum musyrik, oleh karena itu tidak disertakan lafad basmalah di dalamnya.
Pendapat lain (ketiga) mengatakan bahwa basmalah identik dengan perdamaian dan kondisi aman, sementara pemicu turunya surah Bara’ah adalah peperangan (asbab an-nuzul). Jadi tidak relevan antara kandungan ayat Bara’ah dengan esensi basmalah. Riwayat keempat agak mirip dengan sebelumnya, menyatakan bahwa lafadz basmalah tidak dicantumkan dalam surah Bara’ah dalam rangka memelihara kesakralan basmalah, karena isi dari surah tersebut merupakan khitab kepada kaum musyrik.
Riwayat selanjutnya yakni yang kelima menyebutkan, telah terjadi perbedaan dikalangan para sahabat. Di antara mereka ada yang beranggapan kantara al-Anfal dan Bara’ah merupakan saatu kesatuan. Kelompok lainnya beranggapan keduanya merupakan dua surah yang berbeda. Dalam rangka menengahi dua kubu ini akhirnya diputuskan bahwa surah Bara’ah dan surah al-Anfal adalah dua surah tanpa menuliskan basmalah di awal surah.[3]
Tafsir Basmalah
Kata “Allah” merupakan nama yang ditujukan kepada Rabb yang Maha Agung. Allah adalah al-Ismul-a’dham (nama yang paling agung), karena Dia menyandang segala macam sifat. Sebagaimana firman Allah:
هُوَ ٱللَّهُ ٱلَّذِى لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ۖ عَٰلِمُ ٱلْغَيْبِ وَٱلشَّهَٰدَةِ ۖ هُوَ ٱلرَّحْمَٰنُ ٱلرَّحِيمُ
Artinya, “Dialah Allah yang tiada ilah [yang berhak diibadahi] selain Dia, yang mengetahui yang ghaib dan nyata. Dialah yang Mahapemurah lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hasyr: 22)
Dengan demikian, semua nama-nama yang baik itu menjadi sifat-Nya. Dalam kitab shahih Bukhari dan Muslim diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah mempunyai 99 [sembilan puluh sembilan] nama, seratus kurang satu, barangsiapa yang dapat menguasainya, maka ia akan masuk surga.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Nama Allah merupakan nama yang tidak diberikan kepada siapa pun selain diri-Nya, yang Maha Suci dan Maha Tinggi. Oleh karena itu, dalam bahasa Arab tidak diketahui dari kata apa nama-Nya itu berasal. Maka di antara para ahli nahwu ada yang menyatakan bahwa nama itu (Allah) adalah ismun jamid, yaitu nama yang tidak mempunyai kata dasar. Al-Qurthubi mengutip hal itu dari sejumlah ulama di antaranya Imam asy-Syafi’i, al-Khaththabi, Imamul Haramain, al-Ghazali dan lain-lain.
ٱلرَّحْمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ: merupakan dua nama dalam bentuk mubalaghah (bermakna lebih) yang berasal dari satu kata ar-Rahmah. Namun kata ar-Rahman lebih menunjukkan makna yang lebih kuat daripada kata Ar-rahim.
Abu ‘Ali al-Farisi mengatakan: “Ar-Rahman merupakan nama yang bersifat umum meliputi segala macam bentuk rahmat, nama ini dikhususkan bagi Allah semata. Sedangkan ar-Rahim, memberikan kasih sayang hanya kepada orang-orang yang beriman.” Berkenaan dengan ini, Allah berfirman:
وَكَانَ بِٱلْمُؤْمِنِينَ رَحِيمًا
Artinya, “Dan Dia-lah yang Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Ahzab: 43)
Ibnu Abbas mengatakan bahwa keduanya merupakan isim yang menunjukkan makna lemah lembut, sedangkan salah satu di antaranya lebih lembut daripada yang lainnya, yakni lebih kuat makna rahmat-nya daripada yang lain.
Abdullah bin Al-Mubarok mengatakan: “Ar-Rahman yaitu jika diminta, maka Dia akan memberi. Sedangkan ar-Rahim yaitu jika permohonan tidak diajukan kepada-Nya, maka Dia akan murka.” Sebagaimana dalam hadits riwayat at-Tirmidzi dan Ibnu Majah dari Abu Shalih Al-Farisi Al-Khuzi, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Barangsiapa yang tidak memohon kepada Allah, maka Dia akan murka kepadanya.”
Nama “ar-Rahman” hanya dikhususkan untuk Allah semata, tidak diberikan kepada selain diri-Nya, sebagaimana firman-Nya: “Katakanlah: Serulah Allah atau serulah ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kalian seru. Dia mempunyai al-Asmaa’ul Husna [nama-nama yang terbaik].” (QS.Al-Israa’: 110)
Sedangkan mengenai “Ar-Rahiim”, Allah pernah menyebutkan kata itu untuk selain diri-Nya. Dalam firman-Nya, Allah menyebutkan:
لَقَدْ جاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَؤُفٌ رَحِيمٌ
Artinya, “Sesungguhnya telah datang kepada kalian seorang rasul dari ‘kaum kalian sendiri, berat terasa olehnya penderitaan kalian, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagi kalian, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (QS. At-Taubah: 128)
Dapat disimpulkan bahwa sebagian dari asma-asma Allah ada yang dapat disandang oleh selain-Nya dan ada yang tidak boleh dijadikan nama selain-Nya, seperti lafazh Allah, Ar-Rahman, Ar-Raziq, dan Al-Khaliq serta lain-lainnya yang sejenis. Karena itulah dimulai dengan sebutan nama Allah, kemudian disifati dengan Ar-Rahman karena lafazhh ini lebih khusus dan lebih makrifat daripada lafazhh Ar-Rahim. Karena penyebutan nama pertama harus dilakukan dengan nama paling mulia, maka dalam urutannya diprioritaskan yang lebih khusus.[4]
Keadaan disyariatkan membaca Basmalah
Pertama: Disyariatkan untuk membaca secara lengkap, yaitu “Bismillahirrahmanirrahim”
1. Saat membaca Al-Qur’an
Terkhusus ketika mulai membaca awal-awal surah yang ada di dalamnya, kecuali pada surah Bara’ah (At-Taubah). Karena basmalah merupakan ayat yang diturunkan bersamaan dengan setiap surah di dalam Al-Qur’an, kecuali surah Bara’ah. Oleh karenanya, basmalah ditulis di setiap permulaan surah dalam Al-Qur’an, walaupun ia bukanlah termasuk ayat pada surah tersebut secara spesifik.
2. Di permulaan penulisan buku-buku, surat-menyurat, naskah khotbah, dan makalah-makalah ilmiah
Hal ini merupakan salah satu bentuk meniru dan mencontoh Al-Qur’an dan kebiasaan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Karena beliau memulai surat-surat yang beliau tulis untuk para raja dengannya, sebagaimana surat beliau kepada Heraclius kaisar Romawi. Beliau memulai surahnya dengan,
بسم الله الرحمن الرحيم، من محمد رسول الله، إلى هرقل عظيم الروم
Artinya, “Dengan menyebut nama Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, dari Muhammad, Utusan Allah, kepada Heraclius, yang agung di Romawi.”
Hal ini juga dilakukan oleh nabi-nabi sebelum Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, sebagaimana surat Nabi Sulaiman ‘alaihis salam kepada Ratu Bilqis. Allah Ta’ala mengisahkan,
قَالَتۡ يٰۤاَيُّهَا الۡمَلَؤُا اِنِّىۡۤ اُلۡقِىَ اِلَىَّ كِتٰبٌ كَرِيۡمٌ * اِنَّهٗ مِنۡ سُلَيۡمٰنَ وَاِنَّهٗ بِسۡمِ اللّٰهِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِيۡمِۙ * اَلَّا تَعۡلُوۡا عَلَىَّ وَاۡتُوۡنِىۡ مُسۡلِمِيۡنَ
Artinya, “Dia (Balqis) berkata, “Wahai para pembesar! Sesungguhnya telah disampaikan kepadaku sebuah surah yang mulia.” Sesungguhnya (surat) itu dari Sulaiman yang isinya, Artinya, “Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang, janganlah engkau berlaku sombong terhadapku dan datanglah kepadaku sebagai orang-orang yang berserah diri.” (QS. An-Naml: 29-31)
Para pendahulu dan penerus bangsa ini juga telah menggunakan dan mengaplikasikannya di dalam buku-buku, surat pidato, dan artikel mereka.
Kedua: Dengan mengucapkan “bismillah” saja
Hal ini diperintahkan untuk diucapkan pada beberapa kondisi:
1. Ketika berwudhu
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لاَ وُضُوءَ لَهُ وَلاَ وُضُوءَ لِمَنْ لَمْ يَذْكُرِ اسْمَ اللَّهِ تَعَالَى عَلَيْهِ
Artinya, “Tidak ada salat bagi yang tidak memiliki wudu. Dan tidak ada wudu bagi yang tidak membaca bismillah di dalamnya.” (HR. Abu Daud no. 101 dan Ibnu Majah no. 399)
2. Ketika masuk dan keluar masjid
Dari Fatimah binti Muhammad Radhiyallahu ‘anha, berkata
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ الْمَسْجِدَ يقول بِسْمِ اللَّهِ، وَالسَّلَامُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ، اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي ذُنُوبِي وَافْتَحْ لِي أَبْوَابَ رَحْمَتِكَ وَإِذَا خَرَجَ َقَالَ بِسْمِ اللَّهِ، وَالسَّلَامُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ، اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي ذُنُوبِي، وَافْتَحْ لِي أَبْوَابَ فَضْلِكَ
Artinya, “Apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam masuk ke dalam masjid ke dalam masjd beliau mengucapkan: “Bismillah, was Salaamu ‘ala Rasulillah, Rabbighfirli Dzunubi waftahli Abwaaba Rahmatik (“Dengan Nama Allah, dan keselamatan atas Rasulullah, Ya Allah, ampunilah saya dosa-dosa saya dan bukakanlah saya pintu rahmat-Mu.”), dan jika keluar beliau juga membaca shalawat dan salam untuk Muhammad, lalu mengucapkan: ” Bismillah, was Salaamu ‘ala Rasulillah, Rabbighfirli Dzunubi waftahli Abwaaba Rahmatik (Dengan Nama Allah, dan keselamatan atas Rasulullah, Ya Allah, ampunilah saya dosa-dosa saya dan bukakanlah saya pintu keutamaan-Mu).” (HR. An-Nasai. 771)
3. Saat menaiki kendaraan
Allah Ta’ala berfirman,
وَقَالَ ٱرْكَبُوا۟ فِيهَا بِسْمِ ٱللَّهِ مَجْر۪ىٰهَا وَمُرْسَىٰهَآ ۚ إِنَّ رَبِّى لَغَفُورٌ رَّحِيمٌ
Artinya, “Dan Nuh berkata, ‘Naiklah kamu sekalian ke dalamnya dengan menyebut nama Allah di waktu berlayar dan berlabuhnya. Sesungguhnya Tuhanku benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.’” (QS. Hud: 41)
Di dalam hadis Jabir radhiyallahu ‘anhu yang panjang, hadis yang mengisahkan kendaraan ontanya, disebutkan di dalamnya,
ثُمَّ قالَ لِي: ارْكَبْ باسْمِ اللَّهِ
Artinya, “Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadaku, ‘Naikilah kendaraan untamu dengan mengucapkan bismillah (dengan menyebut nama Allah).’” (HR. Muslim no. 715)
4. Saat menyembelih dan berburu
Berdasarkan firman Allah Ta’ala,
فَكُلُوْا مِمَّا ذُكِرَ اسْمُ اللّٰهِ عَلَيْهِ اِنْ كُنْتُمْ بِاٰيٰتِهٖ مُؤْمِنِيْنَ
Artinya, “Maka, makanlah dari apa (daging hewan) yang (ketika disembelih) disebut nama Allah, jika kamu beriman kepada ayat-ayat-Nya.” (QS. Al-An’am: 118)
Dan juga firman Allah,
فَكُلُوا۟ مِمَّآ أَمْسَكْنَ عَلَيْكُمْ وَٱذْكُرُوا۟ ٱسْمَ ٱللَّهِ عَلَيْهِ ۖ
Artinya, “Maka, makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu (waktu melepaskannya).” (QS. Al-Ma’idah: 4)
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,
إذَا أَرْسَلْتَ كَلْبَكَ المُعَلَّمَ، وَذَكَرْتَ اسْمَ اللهِ عليه فَكُلْ
Artinya, “Apabila kamu melepas anjing pemburu yang terlatih setelah kamu menyebut nama Allah ketika melepasnya, makanlah tangkapannya.” (HR. Muslim no. 1929)
5. Sebelum makan
Berdasarkan hadis yang sangat masyhur tentang nasihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada seorang anak,
يا غُلَامُ، سَمِّ اللَّهَ، وكُلْ بيَمِينِكَ، وكُلْ ممَّا يَلِيكَ فَما زَالَتْ تِلكَ طِعْمَتي بَعْدُ
Artinya, “Wahai anak, sebutlah nama Allah dan makanlah dengan tangan kananmu dan makanlah dari apa yang di hadapanmu.” (HR. Bukhari no. 5376 dan Muslim no. 2022)
6. Sebelum melakukan hubungan suami istri
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
أَمَا لو أنَّ أحَدَهُمْ يَقولُ حِينَ يَأْتي أهْلَهُ: باسْمِ اللَّهِ، اللَّهُمَّ جَنِّبْنِي الشَّيْطانَ، وجَنِّبِ الشَّيْطانَ ما رَزَقْتَنا، ثُمَّ قُدِّرَ بيْنَهُما في ذلكَ، أوْ قُضِيَ ولَدٌ؛ لَمْ يَضُرَّهُ شَيطانٌ أبَدًا.
Artinya, “Sekiranya saat mereka mendatangi istrinya membaca, ‘Bismillahi allahumma jannibnisy syaithaana wa jannibisy syaithaana ma razaqtanaa.’ Lalu mereka pun ditakdirkan mendapat keturunan dari hasil pergaulan itu, atau mereka dikaruniai anak, maka ia tidak akan diganggu oleh setan selama-lamanya.” (HR. Bukhari no. 5165 dan Muslim no. 1434)
7. Ketika keluar rumah
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
ﺇِﺫَﺍ ﺧَﺮَﺝَ ﺍﻟﺮَّﺟُﻞُ ﻣِﻦْ ﺑَﻴْﺘِﻪِ ﻓَﻘَﺎﻝَ ﺑِﺴْﻢِ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺗَﻮَﻛَّﻠْﺖُ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﻠَّﻪِ، ﻟَﺎ ﺣَﻮْﻝَ ﻭَﻟَﺎ ﻗُﻮَّﺓَ ﺇِﻟَّﺎ ﺑِﺎﻟﻠَّﻪِ، ﻗَﺎﻝَ : ﻳُﻘَﺎﻝُ ﺣِﻴﻨَﺌِﺬٍ : ﻫُﺪِﻳﺖَ، ﻭَﻛُﻔِﻴﺖَ، ﻭَﻭُﻗِﻴﺖَ، ﻓَﺘَﺘَﻨَﺤَّﻰ ﻟَﻪُ ﺍﻟﺸَّﻴَﺎﻃِﻴﻦُ، ﻓَﻴَﻘُﻮﻝُ ﻟَﻪُ ﺷَﻴْﻄَﺎﻥٌ ﺁﺧَﺮُ : ﻛَﻴْﻒَ ﻟَﻚَ ﺑِﺮَﺟُﻞٍ ﻗَﺪْ ﻫُﺪِﻱَ ﻭَﻛُﻔِﻲَ ﻭَﻭُﻗِﻲَ؟
Artinya, “Apabila seseorang keluar dari rumahnya kemudian dia membaca doa, “Bismillahi tawakkaltu ‘alallah, laa hawla wa laa quwwata illa billah” (Dengan nama Allah, aku bertawakal kepada Allah, tidak ada daya dan kekuatan, kecuali dengan-Nya). Maka, disampaikan kepadanya, ‘Kamu diberi petunjuk, kamu dicukupi kebutuhannya, dan kamu dilindungi.’ Seketika itu setan-setan pun menjauh darinya. Lalu, salah satu setan berkata kepada temannya, ’Bagaimana mungkin kalian bisa mengganggu orang yang telah diberi petunjuk, dicukupi, dan dilindungi.’ (HR. Abu Daud no. 5095 dan An-Nasa’i dalam As-Sunan Al-Kubra no. 9917)
8. Ketika di waktu pagi dan petang
Dari Utsman bin Affan Radhiyallahu ‘anhu, ia mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
مَنْ قَالَ بِسْمِ اللَّهِ الَّذِي لَا يَضُرُّ مَعَ اسْمِهِ شَيْءٌ، فِي الْأَرْضِ، وَلَا فِي السَّمَاءِ، وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ، ثَلَاثَ مَرَّاتٍ، لَمْ تُصِبْهُ فَجْأَةُ بَلَاءٍ، حَتَّى يُصْبِحَ، وَمَنْ قَالَهَا حِينَ يُصْبِحُ ثَلَاثُ مَرَّاتٍ، لَمْ تُصِبْهُ فَجْأَةُ بَلَاءٍ حَتَّى يُمْسِيَ
Artinya: “Barangsiapa yang membaca: Bismillahilladzi laa Yadhurru Ma’asmihi Syaiun fil Ardhi wa laa fis Samaa’ wa Huwas Samii’ul ‘Aliim (dengan nama Allah Yang dengan nama-Nya tidak ada sesuatu pun yang membahayakan di bumi dan tidak juga di langit, dan Dialah Yang Maha Mendegar lagi Maha Mengetahui) sebanyak tiga kali, maka dia tidak akan ditimpa bahaya hingga pagi harinya, dan barangsiapa yang membacanya pada waktu paginya sebanyak tiga kali, maka dia tidak akan ditimpa bahaya hingga petang harinya.” (HR. Abu Daud no. 5088, 5089, Tirmidzi no. 3388, dan Ibnu Majah no. 3869)
9. Ketika akan tidur di malam hari
Berdasarkan hadis,
أن رسولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم، كان إذا أخذ مضجعَه من الليلِ قال: بسم اللهِ وضعتُ جنبي، اللهم اغفر لي ذنبي، وأخْسئْ شيطاني، وفكَّ رِهاني، واجعلني في النديِّ الأعلى.
“Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersiap tidur di malam hari, beliau berdoa, (yang artinya), ‘Ya Allah, aku rebahkan diriku. Ampunilah semua dosaku, cacatkanlah setanku, lepaskanlah gadaiku, dan jadikanlah aku berada pada jajaran yang tinggi bersama malaikat.’” (HR. Abu Dawud no. 5054)
10. Ketika hendak masuk ke dalam kamar mandi
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
سَتْرُ ما بينَ أَعْيُنِ الجِنِّ و عَوْرَاتِ بَنِي آدمَ إذا دخلَ أحدُهُمْ الخلاء أنْ يقولَ : بسمِ اللهِ
“Penutup antara mata jin dan aurat manusia yaitu, apabila seorang dari mereka melepaskan pakaian mengucapkan, ‘Bismillah (dengan menyebut nama Allah).’” (HR. Tirmidzi no. 606 dan Ibnu Majah no. 297)
11. Ketika dirinya atau hewan tunggangan nya terpeleset
Dalam sebuah hadits shahih yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Walid Abu Malih, ayahnya yang pernah dibonceng Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam menceritakan:
كُنْتُ رَدِيفَ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- فَعَثَرَتْ دَابَّتُهُ فَقُلْتُ تَعِسَ الشَّيْطَانُ . فَقَالَ لاَ تَقُلْ تَعِسَ الشَّيْطَانُ فَإِنَّكَ إِذَا قُلْتَ ذَلِكَ تَعَاظَمَ حَتَّى يَكُونَ مِثْلَ الْبَيْتِ وَيَقُولَ بِقُوَّتِى وَلَكِنْ قُلْ بِسْمِ اللَّهِ فَإِنَّكَ إِذَا قُلْتَ ذَلِكَ تَصَاغَرَ حَتَّى يَكُونَ مِثْلَ الذُّبَابِ
Artinya: Ketika aku dibonceng Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam tiba-tiba unta beliau tergelincir. Serta merta aku mengatakan, “Celakalah syetan.” Maka beliau bersabda, “Jangan kamu katakan, ‘celakalah syetan,’ sebab jika kamu katakan seperti itu maka syetan akan membesar sebesar rumah dan dengan sombongnya syetan akan berkata; ‘itu terjadi karena kekuatanku’. Akan tetapi, ucapkanlah ‘Bismillah’ sebab jika engkau mengucapkan basmalah syetan akan mengecil hingga seukuran lalat.” (HR. Abu Dawud)
12. Saat mendapati rasa sakit pada salah satu anggota tubuh
Jika seorang muslim merasakan sakit pada salah satu anggota tubuhnya, disyariatkan baginya untuk meletakkan tangan kanannya pada bagian yang sakit tersebut sembari membaca bismillah dan membaca doa yang telah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ajarkan kepada sahabat Utsman bin Abi Al-Ash radhiyallahu ‘anhu saat ia mengeluhkan rasa sakit yang tak kunjung sembuh pada tubuhnya,
ضَعْ يَدَكَ علَى الَّذي تَأَلَّمَ مِن جَسَدِكَ، وَقُلْ: باسْمِ اللهِ، ثَلَاثًا، وَقُلْ سَبْعَ مَرَّاتٍ: أَعُوذُ باللَّهِ وَقُدْرَتِهِ مِن شَرِّ ما أَجِدُ وَأُحَاذِرُ
Artinya, “Letakkan tanganmu pada tempat yang sakit di badanmu dan ucapkanlah, ‘Bismillah.’ sebanyak tiga kali. Dan ucapkan juga sebanyak tujuh kali, ‘Aku berlindung kepada Allah dan kekuasaan-nya, dari keburukan apa yang kurasakan dan kukhawatirkan.’” (HR. Muslim no. 2202)
13. Saat hendak meletakkan mayit ke dalam liang lahad
Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu mengisahkan,
أنَّ النبيَّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ كان إذا وَضع الميتَ في القبرِ قال باسمِ اللهِ وباللهِ وعلى مِلَّةِ وفي لفظ وعلى سُنَّةِ رسولِ اللهِ
Artinya, “Bahwasanya apabila Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam meletakkan mayit di dalam kubur, maka beliau mengatakan, “Bismillahi wabillahi wa’alamillati” dan dalam riwayat lain dengan lafadz “wa’ala sunnati rasulillah” (Dengan nama Allah dan aku bersumpah dengan nama-Nya serta di atas ajaran/sunah Rasulullah).” (HR. Abu Dawud no. 3213, Tirmidzi no. 1046, dan Ibnu Majah no. 1550)
14. Saat menutup pintu, mematikan lampu, menutup wadah air, dan tempat makan di malam hari
Hal ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan sahabat Jabir radhiyallahu ‘anhu, bahwasannya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إذا كانَ جُنْحُ اللَّيْلِ -أوْ أمْسَيْتُمْ- فَكُفُّوا صِبْيانَكُمْ؛ فإنَّ الشَّياطِينَ تَنْتَشِرُ حِينَئِذٍ، فإذا ذَهَبَ ساعَةٌ مِنَ اللَّيْلِ فَخلُّوهُمْ، فأغْلِقُوا الأبْوابَ، واذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ؛ فإنَّ الشَّيْطانَ لا يَفْتَحُ بابًا مُغْلَقًا، وأَوْكُوا قِرَبَكُمْ واذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ، وخَمِّرُوا آنِيَتَكُمْ واذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ، ولو أنْ تَعْرُضُوا عليها شَيئًا، وأَطْفِئُوا مَصابِيحَكُمْ
“Apabila malam mulai gelap atau malam telah tiba (waktu magrib), maka tahanlah anak-anak kalian (agar tidak keluar dari rumah), karena saat itu setan berkeliaran. Apabila hari sudah malam, maka lepaskanlah mereka dan tutuplah pintu-pintu (rumah kalian) dan sebutlah nama Allah, karena setan tidak mampu membuka pintu yang tertutup. Ikatlah wadah (air minum) kalian sambil menyebut nama Allah dan tutup pula bejana-bejana kalian sambil menyebut nama Allah walaupun hanya dengan menaruh sesuatu di atasnya, dan matikanlah lampu-lampu kalian.” (HR. Bukhari no. 5623 dan Muslim no. 2012)[5]
Semoga Allah Ta’ala menjadikan kita salah satu hamba-Nya yang mampu menjalankan sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam kehidupan sehari-hari, dengan mengawali setiap langkah kita dengan menyebut nama Allah. Semoga kalimat ini selalu menjadi pengingat akan kehadiran-Nya dalam setiap aspek kehidupan kita. Aamiin.
[1] https://islamqa.info/ar/answers/146079/%D8%AD%D8%AF%D9%8A%D8%AB-(%D9%83%D9%84-%D8%A7%D9%85%D8%B1%D9%8D-%D9%84%D8%A7-%D9%8A%D8%A8%D8%AF%D8%A7-%D9%81%D9%8A%D9%87-%D8%A8%D8%B0%D9%83%D8%B1-%D8%A7%D9%84%D9%84%D9%87-%D9%81%D9%87%D9%88-%D8%A7%D8%A8%D8%AA%D8%B1)
[2] Tafsir Al-Munir, I/49-50
[3] Al-Lubab fi Tafsir al-Istiadzah wa al-Basmalah wa Fatihah Kitab, hal. 125-127
[4] Tafsir Ibnu Katsir, I/257-262
[5] Al-Lubab fi Tafsir Al-isti’adzah wal Basmalah wa Fatihat Al-Kitab, hal. 161-169