Jenis Hewan Kurban Yang Paling Afdhal (Utama)

Para ulama berbeda pendapat mengenai mana yang lebih afdhal di antara hewan ternak yang dijadikan hewan kurban. Setidaknya ada dua pendapat, yaitu:

Pendapat Pertama:

Jumhur ulama (selain Malikiyyah) berpendapat bahwa yang paling afdhal adalah: unta, sapi, kemudian domba atau kambing. Alasannya karena harga dan manfaatnya yang lebih besar untuk kaum fakir. (Sumber: Shahih Fiqh as-Sunnah wa Adillatuhu wa Taudhih Madzahib al-Aimmah II/374, Daar at-Taufiqiyyah; Mulakhshul Fiqh Syaikh Fauzan, hlm. 213, Daar Ibnil Jauzy)

Mereka berdalil dengan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنِ اغْتَسَلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ غُسْلَ الْجَناَبَةِ ثُمَّ رَاحَ فَكَأَنَّماَ قَرَبَ بَدَنَةً, مَنْ رَاحَ فِى السَّاعَةِ الثاَّنِيَةِ فَكَأَنَّماَ قَرَبَ بَقَرَةً, مَنْ رَاحَ فِى الساَّعَةَ الثَّالَثَةِ فَكَأَنَّماَ قَرَبَ كَبْشاً,  مَنْ رَاحَ فِى الساَّعَةَ الرَّابِعَةِ فَكَأَنَّماَ قَرَبَ دَجاَجَةً, مَنْ رَاحَ فِى الساَّعَةَ الْخاَمِسَ فَكَأَنَّماَ قَرَبَ بَيْضَةً, فَإِذَا خَرَجَ اْلإِمَامُ حَضَرَتِ الْمَلاَئِكَةُ يَسْتَمِعُونَ الذِّكْرَ

“Barangsiapa yang mandi pada hari Jumat seperti mandi janabah, kemudian ia berangkat ke masjid, maka seolah-olah ia telah berkurban seekor unta. Barangsiapa yang berangkat pada waktu (sā’ah) kedua, maka seolah-olah ia telah berkurban seekor sapi. Barangsiapa yang berangkat pada waktu ketiga, maka seolah-olah ia telah berkurban seekor kambing. Barangsiapa yang berangkat pada waktu keempat, maka seolah-olah ia telah berkurban seekor ayam. Barangsiapa yang berangkat pada waktu kelima, maka seolah-olah ia telah berkurban sebutir telur. Apabila imam telah keluar, maka para malaikat hadir untuk mendengarkan khutbah.” (HR. Bukhari 881, Muslim 850 – sanad shahih)

Juga sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam saat menjawab pertanyaan Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu tentang budak:

أَغْلاهَا ثَمَنًا وَ أَنْفَسُهَا عِنْدَ أَهْلِهِ

“Yang paling mahal harganya dan paling berharga bagi tuannya.” (HR. Bukhari 2518, Muslim 84)

Syaikh Shalih al-Fauzan menambahkan:

“Yang paling afdhal untuk semua hewan kurban maupun hadyu adalah yang paling gemuk dan paling mahal harganya. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta‘ala:

‘Barangsiapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.’ (QS. Al-Hajj: 32) (Sumber: Mulakhshul Fiqh, hlm. 213, Daar Ibnil Jauzy)

Pendapat Kedua:

Sedangkan Malikiyyah berpendapat bahwa yang paling afdhal adalah kambing, lalu sapi, baru kemudian unta. Alasannya, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkurban dengan dua ekor domba berwarna putih. (HR. Bukhari 5558, Muslim 1966)

Baca Juga:  Larangan Melukis Makhluk Bernyawa

Mereka juga berdalil dengan firman Allah:

“Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.” (QS. Ash-Shaffat: 107)

Sembelihan yang dimaksud pada ayat ini adalah domba. (lihat tafsir Assa’di)

Kesimpulan:

‘Ala kulli hal, memilih kurban sapi, unta ataupun domba sama-sama baiknya. Akan tetapi jika dilihat dari sisi afdhaliyyahnya atau keutamaannya, beliau Syaikh Shalih al-Fauzan berkata:

“Seekor kambing itu lebih afdhal daripada sepertujuh sapi. Namun bila seekor sapi atau seekor unta dipakai kurban oleh satu orang (bukan patungan), maka itu lebih afdhal daripada seekor kambing atau kibas. Karena nilainya lebih tinggi dan manfaatnya lebih banyak bagi fakir miskin.”

(Mulakhshul Fiqh, hlm. 350, Daar Ibnil Jauzy)

Jika Kambing Atau Domba, Pilih Yang Bertanduk

Jika seseorang memilih kurban kambing atau domba, maka yang paling utama adalah kambing atau domba yang bertanduk, yang berwarna putih campur hitam (belang) di antara kedua mata dan kakinya. Sifat seperti ini yang disukai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata: “Sesungguhnya Nabi berkurban dengan domba yang bertanduk dan bulu kaki-kakinya warnanya merata hitam dan sekitar matanya berwarna putih.” (HR. at-Tirmidzi dan dishahihkannya)

Telah Mencapai Usia Minimal

Umur hewan kurban adalah ats-tsaniyah, kecuali domba yang diperbolehkan berkurban dengan jadz’ah atau domba berusia enam bulan.

Berdasarkan dalil-dalil berikut:

لَا تَذْبَحُوا إِلَّا مُسِنَّةً، إِلَّا أَنْ يَعْسُرَ عَلَيْكُمْ فَتَذْبَحُوا جَذَعَةً مِنَ الضَّأْنِ

“Janganlah kalian berkurban kecuali dengan musinnah. Jika kalian sulit mendapatkannya, maka sembelihlah jadz’ah dari domba.” (HR. Muslim 1963, Abu Dawud 2797, an-Nasa’i VII/218, Ibnu Majah 3114)

Berdasarkan hadits ini, jelas sekali bahwa tidak sah kurban kecuali hewan tadi telah musinnah. Musinnah adalah ats-tsaniyah.

Ibnu Qudamah rahimahullah berkata:

“Ats-tsaniyah pada sapi adalah yang telah berumur dua tahun dan memasuki tahun ketiga, sedangkan pada unta telah berumur lima tahun dan memasuki tahun keenam.”

(al-Mughni IX/348, al-Mudawwanah II/2, al-Mabsuth XII/9)

Ats-tsaniyah untuk domba adalah berumur satu tahun dan memasuki tahun kedua. Namun, jika sulit mendapatkan ats-tsaniyah, maka dibolehkan jadz’ah. Jadz’ah pada domba minimal berumur 6 bulan. (al-Mabsuth XII/9, al-Hawi XIX/89, al-Mughni IX/348)

Adapun kambing, jumhur ulama berpendapat umur yang sah untuk kurban adalah ats-tsaniyah atau lebih, berdasarkan hadits yang telah disebutkan sebelumnya. Adapun jadz’ah dari kambing tidak sah dijadikan hewan kurban.(at-Tirmidzi dalam as-Sunan IV/194, Ibnu Abdil Barr dalam at-Tamhid XXIII/185, Kitab al-Mulakhkhash al-Fiqhi, hal. 351, Daar Ibnil Jauzy)

Ringkasan usia hewan ternak yang boleh dijadikan hewan kurban adalah seperti berikut:

  • Unta minimal berumur 5 tahun dan telah masuk tahun ke-6
  • Sapi minimal berumur 2 tahun dan telah masuk tahun ke-3; dan
  • Kambing jenis domba atau biri-biri berumur 1 tahun, atau minimal berumur 6 bulan bagi yang sulit mendapatkan domba yang berumur 1 tahun. Sedangkan bagi kambing biasa (bukan jenis domba atau biri-biri, semisal kambing Jawa), maka minimal berumur 1 tahun dan telah masuk tahun ke 2.
Baca Juga:  Fiqih Kurban - Bagian ke-4: Waktu dan Tata Cara Penyembelihan

Hewan Kurban Cacat, Apa Hukumnya?

Cacat bagi hewan kurban terbagi menjadi tiga menurut hukumnya, antara lain:

1. Cacat yang menyebabkan tertolak atau tidak sah.

أرْبَعَةٌ لاَ يَجْزِيْنَ فِيِ اْلأَضَاحِيِّ: العَوْرَاءُ الْبَيِّنُ عَوَرُهَا، وَالْمَرِيْضَةُ الْبَيِّنُ مَرَضُهَا، وَالعَرْجَاءُ الْبَيِّنُ ظَلْعُهَا، وَالْكَسِيْرَةُ الَّتِي لاَ تُنْقِي.

“Ada empat macam cacat yang tidak sah sebagai hewan kurban: buta matanya yang jelas kebutaannya, sakit yang jelas sakitnya, pincang yang jelas pincangnya, serta kurus yang tidak ada dagingnya.” (HR. an-Nasa’i VII/215, Ibnu Majah 3144, dan Ahmad IV/248)

Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:

“Cacat-cacat tersebut yang menyebabkan tertolaknya hewan kurban dan kurbannya tidak sah menurut kesepakatan para ulama.” (Majmu’ Fatawa VIII/404)

2. Cacat yang hukumnya makruh

Cacat yang hukumnya makruh, tetapi tetap sah kurbannya. Di antara cacat yang dimakruhkan untuk kurban adalah:

  • Terpotong telinganya.

وَعَنْ عَلِيٍّ – رضي الله عنه – قَالَ: أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – أَنْ نَسْتَشْرِفَ الْعَيْنَ وَالْأُذُنَ

Dari ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata:

“Nabi memerintahkan kami untuk memeriksa mata dan telinga hewan kurban.” (HR. an-Nasa’i VII/284, Ahmad VIII/404, Tirmidzi 1498, Abu Dawud 248, serta Ibnu Majah 3142, dengan sanad hasan)

Imam Abu Hanifah, Imam Malik, serta Imam Syafi’i berpendapat:

“Kalau hewan tersebut tidak punya telinga sejak lahir, maka kurbannya tidak sah. Tapi kalau hewan tersebut telinganya kecil (Jawa: perung), kurbannya sah.” (Majmu’ Fatawa VIII/401, al-Idzkar Ibnu Abdil Baar XV/128)

  • Patah tanduknya atau sebagian besar darinya.

Ibnu Abdil Baar rahimahullah berkata:

“Jumhur ulama berpendapat, berkurban dengan hewan yang patah tanduknya adalah boleh jika tidak patah seluruhnya. Namun jika patah seluruhnya, para ulama memakruhkannya.” (al-Istidzkar XV/132)

3. Cacat yang hukumnya mubah / boleh

Cacat yang tetap sah untuk kurban karena tidak adanya hadits shahih yang melarangnya, tetapi menyebabkan kurang sempurnanya hewan kurban. Di antaranya:

الحَتْمَاء (al-Ḥatmā’): hewan yang tidak memiliki gigi.

البَتْرَاء (al-Batrā’): hewan yang terpotong ekornya.

الجَدْعَاء (al-Jad‘ā’): hewan yang terpotong hidungnya.

الْمَخْصِيّ (al-Makhṣiyy): hewan yang dikebiri (terutama jika hanya satu pelirnya — Jawa: sangklir). (Shahih Fiqh as-Sunnah II/371)

Fiqih Kurban Bagian ke-1

Fiqih Kurban Bagian ke-3

Fiqih Kurban Bagian ke-4

Fiqih Kurban Bagian ke-5